Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia, mengharuskan pemerintah mengambil keputusan darurat bagi satuan pendidikan. Yaitu melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), baik melalui luring maupun daring.

Namun dikarenakan virus yang berasal dari Wuhan ini tidak pasti kapan akan bisa dibasmi, sementara di sisi lain anak-anak Indonesia harus mendapatkan pendidikan yang selayaknya, akhirnya pemerintah mengeluarkan keputusan untuk satuan pendidikan melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) mulai Januari 2021.

Dalam siaran pers pada Minggu, 3 Januari 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan kembali bahwa penyelenggaraan pembelajaran semester genap yang dimulai pada Januari 2021 tetap mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.

Aturan yang diumumkan tanggal 20 November 2020 tersebut juga memuat panduan lengkap pembelajaran tatap muka (PTM) semester genap tahun ajaran 2020/2021 dan tahun akademik 2020/2021 mulai dari tahapan perizinan, prosedur yang harus dipenuhi, hingga prasyarat dan protokol kesehatan yang wajib dijalankan.

Pelaksana tugas (plt) Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Ainun Na’im, menegaskan pemberian izin pelaksanaan PTM di satuan pendidikan dilakukan oleh pemerintah daerah, kantor wilayah Kementerian Agama provinsi, dan/atau kantor Kementerian Agama kabupaten/kota sesuai kewenangannya. Pemberian izin PTM juga dapat dilakukan secara serentak dalam satu wilayah provinsi/kabupaten/kota atau bertahap per wilayah kecamatan/desa/kelurahan. Pemerintah daerah sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan dan kapasitas wilayah masing-masing memiliki kewenangan penuh untuk mengambil kebijakan.

Menurut Ainun, terdapat beberapa poin utama dalam SKB empat menteri tersebut. Pertama, keputusan membuka sekolah harus mendapat persetujuan bukan hanya dari pemerintah daerah tetapi juga dari pihak sekolah dan komite sekolah yang merupakan perwakilan para orangtua murid. “PTM sifatnya diperbolehkan tidak diwajibkan, sehingga keputusan akhir tetap ada di orang tua. Jika orang tua belum nyaman maka siswa dapat melanjutkan proses belajar dari rumah,” tegas Ainun.

Kedua, sekolah yang dibuka juga wajib memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan serta menerapkan protokol yang ketat. Sebagai contoh, jumlah siswa yang hadir dalam satu sesi kelas hanya boleh 50 persen dan satuan pendidikan diminta memberlakukan rotasi untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan sekolah.

Lebih lanjut Ainun mengatakan bahwa dua prinsip kebijakan pendidikan di masa pandemi tetap harus dijunjung. Pertama, memastikan kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai prioritas utama. Kedua, memperhatikan tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial seluruh insan pendidikan. “Pemerintah akan senantiasa memantau dan mengevaluasi situasi pandemi agar proses dan manfaat pembelajaran tetap dapat berlangsung,” tutup Ainun.

Untuk menyambut PTM tersebut, satuan pendidikan perlu mempersiapkan dengan matang dan sesuai peraturan protokol kesehatan. Agar ketika dibukanya kembali pembelajaran tatap muka, tidak terjadi cluster baru virus corona di sekolah.

“Atas dasar itu, Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud melakukan survei untuk memperoleh data dan informasi terkait persiapan sekolah dalam menyambut pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021. Tujuan dari pemetaan ini untuk melihat sejauh mana kesiapan sekolah dalam pembelajaran tatap muka yang akan dilaksanakan,” ujar Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd.

Beliau melanjutkan, proses pengumpulan data ini dilakukan pada tanggal 4 sampai 27 Desember 2020 melalui google form yang dibuat oleh Tim Survei Persiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud. Dimana dalam batas waktu pengisian tersebut sekolah diberikan akses untuk mengisi kuisioner yang sudah dibagikan.

Setelah selesai batas waktu maka pengisian link di tutup. Lalu kemudian pada jangka waktu tersebut Tim Survei Persiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud telah mendapatkan tanggapan sebanyak 21.730 responden.

Sementara itu untuk responden dalam survei ini sendiri adalah kepala sekolah atau yang mewakilinya pada jenjang sekolah dasar di Indonesia. Kepala sekolah dipilih karena sebagai pimpinan tertinggi yang ada di sekolah dan merupakan pengambil atau penentu kebijakan yang strategis di satuan pendidikan.

Sri menyampaikan, dari hasil survey secara umum sekolah sudah mengetahui dan membaca Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri. Selain itu hasil survei juga menunjukan sekolah pada umumnya sudah memiliki toilet atau jamban bersih. Hal tersebut terlihat dari jawaban responden sebesar 97.1% yang menyatakan hal tersebut.

“Sedangkan sisanya sebesar 2.9% menyatakan tidak memiliki toilet atau jamban bersih di sekolah. Jumlah toilet atau jamban bersih yang dimiliki sekolah sangat bervariasi, namun yang paling banyak berkisar antara 1-5 unit jamban/toilet di setiap sekolah,” papar Sri Wahyuningsih.

Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Direktur SD mengatakan satuan pendidikan memang sudah menyiapkan sarana cuci tangan pakai sabun (CTPS) atau hand sanitizer di sekolahnya, dimana jumlah sarana CTPS di masing-masing sekolah sangat bervariasi disesuaikan dengan banyaknya rombel dan kemampuan kapasitas finansial atau anggaran sekolah.

“Namun secara persentase paling banyak memiliki 6 sampai 10 sarana CTPS di sekolah. Meskipun banyak sekolah yang sudah menyiapkan sarana CTPS, tapi masih ada pula sebagian sekolah yang belum menyiapkannya dikarenakan terbatasnya dana BOS di sekolah karena jumlah peserta didik yang sedikit dan tidak adanya akses air di sekolah,” katanya.

Hasil dari survei juga menunjukan sebanyak 92.4% satuan pendidikan telah memiliki alat disinfektan untuk keperluan sterilisasi sekolah, dimana jumlah alat disinfektan di masing-masing sekolah sangat bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kapasitas financial alias anggaran sekolah. Namun secara persentase, paling banyak alat dIsinfektan yang dimiliki sekolah berkisar 1-5 buah.

“Meskipun banyak sekolah yang sudah memiliki alat disinfektan, tapi sebanyak 7.6% belum memiliki alat disinfektan dikarenakan terbatasnya dana BOS di sekolah karena jumlah peserta didik yang sedikit. Harga alat yang relatif mahal dan baru akan dianggarkan pada RKAS 2021,” ujar Sri Wahyuningsih.

Sementara itu sebanyak 94.7% responden menjawab bahwa mereka sudah melakukan penyemprotan lingkungan sekolah dalam rangka sterilisasi. Intensitas sterilisasi yang dilakukan paling banyak adalah 1-5 penyemprotan dalam sebulan. Sekolah yang belum atau tidak melakukan penyemprotan beralasan tidak memiliki alat disenfektan, belum adanya instruksi dari dinas pendidikan setempat, dan keterbatasan anggaran.

Selain itu sebesar 94.8% responden juga menjawab bahwa sekolah mampu mengakses fasilitas kesehatan, karena memang lokasinya yang cukup dekat, bahkan banyak faskes yang jaraknya kurang dari 100 meter dari sekolah. Sementara sekolah yang tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan dikarenakan jarak yang sangat jauh dan akses jalan yang sangat sulit.

“Dari hasil survey juga kita dapatkan sebanyak 99.8% responden menyatakan siap menerapkan area wajib masker kain di lingkungan sekolah. Namun bagi yang belum siap, menyatakan alasannya adalah sekolah tidak mampu membeli masker karena dana BOS yang terbatas (jumlah peserta didik sedikit), kemampuan ekonomi orang tua/wali murid yang terbatas, kesadaran warga sekolah yang masih rendah terkait penggunaan masker, sulitnya mengatur/mendisiplinkan siswa untuk menggunakan masker serta lokasi daerah yang terpencil, sehingga tidak perlu menggunakan masker,” papar Sri Wahyuningsih.

Beliau melanjutkan, hanya sebesar 27.1% responden sekolah inklusif yang memiliki peserta didik disabilitas rungu menyatakan sudah menyiapkan masker tembus pandang. Sisanya sebesar 72.9% menyatakan tidak/belum menyiapkan. Alasannya karena barang yang tidak tersedia di pasaran atau sulit untuk didapatkan di daerah, sekolah tidak menganggarkannya di RKAS, belum ada perintah untuk menyediakan masker tembus pandang oleh dinas pendidikan setempat, harga yang relatif mahal jika dibandingkan dengan masker biasa, sekolah tidak mampu membeli masker karena dana BOS yang terbatas (jumlah peserta didik sedikit), dan kemampuan ekonomi orang tua/wali murid yang terbatas.

Sri juga memaparkan, sebesar 95.8% responden menjawab bahwa sekolah telah memiliki thermogun. Jumlah thermogun yang dimiliki sekolah sangat bervariasi tergantung pada kebutuhan dan kemampuan anggaran sekolah. Namun secara persentase, jumlah yang paling banyak dimiliki sekolah berkisar antara 1-5 buah.

“Bagi sekolah yang tidak atau belum memiliki thermogun dikarenakan belum dianggarkan pada RKAS 2021, keterbatasan anggaran, harga yang relatif mahal, barang yang sulit dipasaran/tidak tersedia di daerah,” ujar Sri Wahyuningsih.

Dan sebagian besar 78.1% responden menjawab bahwa mereka telah melakukan pendataan warga satuan pendidikan yang memiliki riwayat penyakit, sedangkan sisanya sebesar 21.9% menyatakan tidak atau belum melakukannya. Alasan yang dikemukakan oleh responden diantaranya;

1)            Kurang terbukanya warga sekolah terkait riwayat penyakitnya.

2)            Belum ada instruksi dari dinas pendidikan setempat.

3)            Di masa pandemi, sekolah belum masuk, sehingga belum bisa untuk mendata karena di daerah tidak ada internet/ orang tua tidak memiliki handphone.

4)            Menganggap bukan tupoksi sekolah untuk melakukan pendataan, tapi ini merupakan tugas dari petugas kesehatan (puskesmas/dinas kesehatan).

“Sebesar 78.4% responden juga menjawab bahwa mereka telah melakukan pendataan warga satuan pendidikan yang menggunakan transportasi publik dalam kegiatan pulang dan/atau pergi ke sekolah. Namun sisanya sebesar 21.6% menyatakan tidak atau belum melakukannya. Alasannya karena rumah peserta didik yang dekat sekolah, jadi dirasa tidak perlu melakukan pendataan, karena rata-rata pada berjalan kaki ke sekolah. Tidak adanya transportasi publik di lokasi sekolah, jadi dirasa tidak perlu pendataan dan belum adanya instruksi dari dinas pendidikan setempat,” imbuhnya.

Sebanyak 65.7% responden dari hasil survei juga menjawab bahwa sekolahnya telah melakukan pendataan warga satuan pendidikan yang memiliki riwayat perjalanan dari zona oranye dan merah serta belum menyelesaikan isolasi mandiri selama 14 hari. Namun sisanya sebesar 34.3% menyatakan belum atau tidak melakukannya dikarenakan sudah ada tim petugas kesehatan dari puskesmas dan dinas kesehatan setempat yang akan melakukannya, tidak adanya instruksi arahan dari dinas pendidikan setempat, sekolah dan tempat tinggal warga sekolah berada di zona hijau, tidak ada yang melaporkan terkait kegiatan perjalanannya kepada pihak sekolah dan di sekitar tidak ada yang terkena Covid-19, sehingga daerah dianggap aman.

Akan tetapi secara umum, sekolah siap membuat kesepakatan bersama komite sekolah dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Dan hanya sedikit saja yang merasa tidak atau belum siap dengan alasan masih tingginya angka orang yang terkena Covid-19 di sekitar, sehingga belum berani untuk kegiatan tatap muka di sekolah. Fasilitas protokol kesehatan di sekolah yang belum memadai dan masih menunggu instruksi serta arahan dari dinas pendidikan setempat.

Selain itu dari hasil survei juga mengungkapkan sebanyak 70% responden menjawab bahwa sekolahnya telah membentuk satgas satuan pendidikan. Namun sisanya sebesar 30% menyatakan belum membentuk satgas dengan alasan; baru akan dibentuk pada saat pembukaan sekolah tahun 2021, tidak adanya instruksi/arahan dari dinas pendidikan setempat, banyak yang belum paham terkait pembentukan satgas di sekolah, kurangnya SDM yang sesuai/mumpuni untuk pembentukan satgas dan kesibukan orang tua/wali murid.

Selanjutnya, sebanyak 95.6% responden menjawab bahwa sekolahnya telah membuat RKAS terkait pendanaan kegiatan sosialisasi, peningkatan kapasitas, serta pengadaan prasarana sanitasi, kebersihan, dan kesehatan satuan pendidikan. Namun hanya sebesar 4.4% menyatakan belum melakukannya dikarenakan baru akan dianggarkan pada RKAS tahun 2021, alokasi dana BOS yang terbatas karena jumlah peserta didik yang sedikit, tidak adanya instruksi/arahan dari dinas pendidikan setempat, belum dirapatkan oleh komite sekolah dan dewan guru, sudah terpenuhinya fasilitas terkait protokol kesehatan di sekolah.

Sebanyak 99.7% responden juga menyatakan bahwa sekolah siap menginformasikan kepada dinas pendidikan jika ada warga di satuan pendidikannya yang terkonfirmasi positif Covid-19. Hanya sebesar 0.3% saja yang menyatakan tidak siap dikarenakan sudah ada tim petugas kesehatan dari puskesmas/ fasilitas kesehatan setempat yang akan melakukan tugas ini.

Selain itu juga karena bukan kewenangan sekolah untuk menyampaikan informasi orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 di satuan pendidikannya, tidak adanya instruksi untuk menyampaikan informasi tersebut dari dinas pendidikan setempat dan yang terakhir ditakutkan akan mempengaruhi kondisi psikologis orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 tersebut.

Dalam persiapan PTM ini selain mempersiapkan yang sudah disebutkan di atas, juga sudah banyak sekolah yang mengatur tata letak ruangan dengan memperhatikan jarak yang disarankan. Meski demikian sebesar 4.1% responden menyatakan belum melakukannya karena akan melakukan pengaturan tata letak menjelang masuknya peserta didik pada kegiatan tatap muka di sekolah, belum adanya instruksi dari dinas pendidikan setempat, sekolah belum melakukan musyawarah dengan komite dan wali murid terkait persiapan tatap muka, rasio antara ruang kelas dan rombel tidak ideal (ruang kelas jumlahnya kurang sedangkan rombel banyak). Dan yang terakhir ukuran ruang kelas kurang memadai jika diterapkan physical distancing 1.5 meter antar peserta didik.

“Saya perlu tegaskan kembali bahwa kewenangan memutuskan Pembelajaran Tatap Muka ada di pemerintah daerah dan kanwil/kantor Kemenag dengan mendapat persetujuan dari pihak sekolah dan komite sekolah sebagai perwakilan orang tua. Untuk itu, di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang akhir-akhir ini sedang mengalami pergerakan tak menentu, tetap harus menjadi perhatian dan kehati-hatian satuan pendidikan apabila akan menyelenggarakan PTM. Jangan sampai kehati-hatian terkalahkan oleh semangat karena sudah terlalu lama belajar di rumah, sehingga terjadi potensi penyebaran Covid-19 di sekolah. Kita semua harus antisipasi jangan sampai kemungkinan buruk itu terjadi,” kata Sri Wahyuningsih. (Hendriyanto/Kumi Laila)