Oleh Diyah Susilowati, S.Pd.,Gr., Guru Bina Tahap 8

Sudah sejak lama memang saya berkeinginan menjadi seorang Guru. Hal itu termotivasi dari Guru-Guru yang hadir dalam hidup saya. Entah mengapa dari tangan dingin dan kharisma mereka membuat saya berkeinginan untuk melanjutan tongkat estafet mereka. Tidak pernah saya tahu akan begini jalan ceritanya, semuanya sudah rapi tersusun indah sesuai skenario-Nya.  

Semuanya berproses, Allah memberikan kesempatan pada saya untuk menempa diri, ilmu, pengalaman, jiwa sosial, wawasan dan kemandirian terlebih mendapatkan keluarga baru dan saudara baru ketika saya mendapat kesempatan bisa mengabdikan diri saya di Negeri Jiran, Sabah Malaysia. Tugas utama yang saya emban disini yaitu untuk mendidik anak-anak Pekerja Migran Indonesia yang tinggal diantara rimbunnya kelapa sawit dan kepulan kilang minyak, orang-orang sering menyebut saya “Guru Ladang”. Karena memang kami tinggal di dalam ladang yang jaraknya lumayan jauh dari jalan raya. Jadi jangan harap bisa melihat rumah-rumah penduduk dari jalan raya.

Pernah waktu tes wawancara saya ditanya apa alasan ingin mengajar disini? Jawaban saya saat itu, saya ingin memberikan ilmu dan keterampilan yang saya miliki untuk anak-anak di Sabah dan menumbuhkan rasa cinta tanah air pada mereka. Mungkin jawaban tersebut terkesan  sederhana dan biasa. Namun sesampainya saya di sini, saya merasakan jawaban saya tersebut tidak semudah yang saya ucapkan, terasa berat tantangan ini.

Anak-anak di sini adalah amanah yang dititipkan kepada saya. Mau dibawa kemana, dijadikan seperti apa, mau diwarnai seperti apa itu tergantung dari kita. Untuk itulah, perlu hati-hati dalam mendidik mereka. Sebab, setiap ucapan dan perilaku kita selalu dimonitor oleh mereka dan ditiru oleh mereka. Bertemu dengan mereka adalah takdir saya, merekalah mood booster saya dikala saya lelah dan banyak tugas.

Cukup dengan memandang mereka saat mereka sibuk mengerjakan tugas-tugas yang saya berikan, saat mereka dapat tersenyum dengan ceria dan tanpa tekanan, saat mereka kegirangan mendapatkan marka 100 dengan tanda tangan khas saya yang dibumbui dengan tulisan 'Masya Allah very good' plus ditambah cop bintang. Memandang mereka kegirangan dan bangga menempelkan bintang prestasi di papan. Seketika itu rasa lelah yang saya rasakan tiba-tiba sirna sudah. Begitulah, sederhana memang. Bahagia tidak mahal, bahagia tidak susah, bahagia yang menentukan diri kita  sendiri.

Pagi-pagi sekali anak-anak sudah datang, membersihkan sekolah, merapikan deretan meja kursi yang akan dipakai belajar, setelah itu mereka bermain di ingkungan sekolah sambil menunggu kedatangan saya dan bersiap menerima pelajaran. Begitulah kebiasaan mereka setiap pagi. Ketika saya datang dengan sepeda motor dari kejauhan mereka sudah bersorak berteriak dengan kencangnya “Ibu Diyah, Ibu Diyah datang” dan mendekat ke tempat parkir motor.

Langsung mereka sibuk ingin membantu saya membawakan barang-barang yang saya bawa. Kalau sudah begitu, berhasil sudah mereka mengambil hati saya pagi-pagi. Saya balas dengan senyuman dan ucapan terima kasih karena sudah membantu. Betulkan bahagia itu amat sederhana? Sungguh mereka berhasil mencuri hati saya sepagi itu.

Melihat  mereka  bersemangat begitu, lega saya dibuatnya. Mereka harapan bangsa, mereka yang akan  menjadi penerus dan menggantikan kami di masa depan nanti. Ibarat bintang kecil di malam hari tak bosan untuk dipandang, selalu bersinar dengan terangnya. Semangat mereka dalam belajar, kebaikan-kebaikan mereka dengan tulus ikhlas tanpa pamrih, kejujuran mereka laksana bintang kecil itu semoga tak akan padam sampai kapanpun. Ada harapan ketika memandang wajah-wajah mereka. Meskipun hidup di tengah ladang kelapa sawit di antara kepulan-kepulan asap kilang minyak, saya yakin masa depan mereka bisa lebih baik dari orang tua mereka.

Keyakinan dan usaha saya itu akhirnya membuahkan hasil. Mereka berhasil membuat saya tersenyum lebar melihat prestasi-prestasi yang mereka torehkan. Sungguh kesyukuran yang tiada terkira, salah satu murid sekolah kami Community Learning Center (CLC) Aumkar yaitu Ariyanti mendapat peringkat Juara Harapan III Level 1 Kelas 1-2 SD untuk wilayah Sabah, Malaysia dalam rangka Olimpiade Sains Kuark tingkat Sekolah Dasar se-Indonesia Tahun 2019.  

Di tahun yang sama, saya juga diberikan kesempatan mendampingi Johan Bahar, salah satu murid saya mengikuti lomba menggambar pada lomba Apresiasi Prestasi dan Seni (APSI) se-Tawau mewakili Gugus Balung Semporna. Lagi lagi di tahun yang sama, saya diberikan kesempatan untuk menjadi panitia seleksi Beasiswa Repatriasi yang didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Sabah Bridge dan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK).

Sungguh terharu menjadi bagian dari saksi sejarah mereka. Melihat perjuangan dan pengorbanan mereka menjemput takdir untuk melanjutkan sekolah SMA/SMK sederajat di Indonesia, tidak hanya mereka disibukan dengan sekolah tapi mereka juga tidak kenal lelah untuk membantu kedua orang tua mereka di ladang kelapa sawit. Banyak anak-anak ikut terjun ke ladang mulai dari pungut biji sawit, mendorong gerobak yang berisi buah sawit, maupun membersihkan rumput. Sungguh perjuangan mereka tidak sia-sia terbayar dengan mendapat beasiswa full sampai lulus SMA/SMK sederajat. 

Di antara penerima beasiswa tersebut adalah siswa saya dari jenjang SMP di CLC KL Kepong. Sungguh kesyukuran yang luar biasa tiga tahun bersama mereka di bangku SMP kemudian sampai bisa menghantarkan mereka ke jenjang SMA/SMK se-derajat di Indonesia menorehkan rasa bahagia yang tak terkira tak mampu saya ungkapkan dengan kata-kata. Melihat dengan mata saya sendiri mereka bertumbuh dan berproses mengejar cita-cita mereka. Tidak hanya itu mereka telah mampu membuktikan bahwa tidak perlu takut dengan segala keterbatasan, selagi kita ada keinginan dan keyakinan yang kuat disitulah pintu-pintu kemudahan dan jalan keluar akan terbuka lebar-lebar.

Bukankan janji Allah itu benar, bahkan sering kita baca berulang-ulang “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” dan janji-Nya ini bahkan diulang sampai dua kali dalam QS. Al Insyirah (94) ; 5-6. Jadi, bukankan itu sudah cukup bagi kita untuk mengambil pelajaran dan memberikan pemantik  semangat untuk kita agar tidak mudah menyerah dan putus asa dari rahmat-Nya? Sungguh bahagiaku amat sederhana. (*)