Lingkungan sehat dalam sekolah akan sangat mendukung tercapainya generasi hebat, cerdas, sehat dan berkualitas. Menciptakan lingkungan yang sehat pada sekolah salah satu caranya dengan menciptakan sekolah hijau atau green school.
Green school bukan hanya tampilan fisik sekolah yang hijau atau rindang saja. Ini merupakan wujud sekolah yang memiliki program dan aktivitas pendidikan yang mengarah pada kesadaran dan kearifan terhadap lingkungan hidup. Selain itu, harus memiliki komitmen dan secara sistematis mengembangkan program-program untuk menginternalisasikan nilai-nilai lingkungan ke dalam seluruh aktivitas sekolah.
Dalam webinar: Ayo Ciptakan Sekolah Hijau yang diselenggarakan Direktorat Sekolah Dasar, Rabu 18 Agustus 2021, Ir. Nirwono Joha, MLA., Koordinator Kemitraan Kota Hijau Indonesia, menyampaikan tiga isu yang menjadi landasan membangun kota hijau. Pertama adalah sustainable city atau kota berkelanjutan. Kedua liveable city. Dan yang ketiga adalah healthy city.
“Terciptanya kota hijau ini nantinya bisa menjadi pintu masuk buat teman-teman di Kemendikbud, khususnya Direktorat Sekolah Dasar untuk lebih menerapkan kota hijau di sekolah dasar dengan konsep sekolah hijau atau green school,” papar Nirwono Joha.
Menurut Nirwono, pihaknya bekerjasama dengan Kementerian PUPR sudah menginisiasi program kota hijau pada 2011. Hasilnya, dari 514 kota/kabupaten, sudah ada 150 kota/kabupaten yang memiliki program kota hijau.
Sustainable city atau kota berkelanjutan adalah tujuan pembangunan berkelanjutan. Ada 17 tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satunya ada pada tujuan 11, yaitu menciptakan atau membangun sebuah kota aman, tangguh dan berkelanjutan. Ini masuk dalam konsep dasar hijau atau turunannya nanti juga turut membangun sekolah hijau.
Lalu yang kedua yaitu liveable city atau kondisi kota yang harus layak huni. Warga atau masyarakat bahkan juga siswa-siswa dapat dengan layak tinggal di kota tersebut.
“Kemudian yang ketiga adalah healthy city. Di era pandemi covid-19 ini perlu sebuah kota yang sehat. Nah, kota saat itu sudah menjadi harga yang mahal. Jadi mau tidak mau kota yang kita bangun harus menjadi kota yang sehat. Bahkan WHO sudah membuat catatan bagaimana kita merancang sebuah kota yang sehat,” imbuhnya.
Sementara itu, Dr. Sani Aryanto, M.Pd., Wakil Dekan 1 Bidang Akademik Univ. Bhayangkara Jakarta Raya menambahkan, dalam membangun green school harus diimbangi dengan ecoliteracy. Karena dalam sebuah penelitian Indonesia berada di peringkat 2 sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak di dunia.
Ecoliteracy adalah keadaan di mana orang sudah tercerahkan tentang pentingnya lingkungan hidup. Sederhananya, menyadari bahwa manusia bagian dari sistem ekologis. Mau tidak mau, dalam mempertimbangkan perilaku harus didasarkan kepada alam.
“Ekoliterasi ini adalah sebuah konsep paradigma atau nilai baru pendidikan yang membawa pesan-pesan tentang kesejahteraan bumi. Selain itu, ekoliterasi juga sering disebut sebagai literasi ekologis atau kecerdasan ekologis antara keterampilan kognitif dengan empati terhadap segala bentuk kehidupan,” papar Sani Aryanto.
Dalam ekoliterasi, ada empat komponen kompetensi yang perlu dipahami lanjutnya. Pertama ada the head. Kemudian ada the heart, the hands dan the spirit.
“The head itu berarti learning to know. The heart itu learning to emosional. The hands adalah learning to do. Dan the spirit adalah learning to live together,” jelasnya.
Dalam komponen the head, harus dipahami prinsip-prinsip ekologi berpikir kritis, memecahkan masalah secara kreatif dan menerapkan pengetahuan untuk situasi baru. Kemudian menilai dampak atau efek tindakan manusia dan menerapkan teknologi terhadap lingkungan. Lalu memperhitungkan konsekuensi jangka panjang dalam pengambilan sebuah keputusan.
Sedangkan the heart memberikan perhatian empati dan rasa hormat terhadap sesama dan makhluk hidup lainnya. Menghargai perbedaan latar belakang motivasi, niat dalam berinteraksi sesuai dengan perspektif saling menghargai terhadap nilai kerjasama. Berkomitmen untuk kesamaan keadilan inklusivitas dan menghormati semua orang.
“Komponen the hands yaitu membuat dan menggunakan alat-alat benda dan produser yang dibutuhkan masyarakat yang berkelanjutan. Ini untuk menerapkan tindakan praktis dan efektif terkait pemahaman keseimbangan ekologis. Ini sekaligus menilai dan memanfaatkan energi dan sumber daya sesuai kegunaannya. Sedangkan the spirit, kita harus menghormati bumi dan semua makhluk hidup. Merasakan ikatan yang kuat dan apresiasi yang dalam terhadap alam,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Lendo Novo, pendiri dan penggagas Sekolah Alam menegaskan, tujuan pendidikan itu harus kembali ke tujuan penciptaan manusia. Dalam Al-quran disebutkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Inilah yang sebetulnya menjadi filosofi dari sekolah alam. Bagaimana manusia melanjutkan pemimpin di muka bumi.
“Kenapa manusia yang ditunjuk? Karena makhluk-makhluk Allah lainnya tidak mampu mengemban amanah besar untuk menjadi pemimpin dan penerus di bumi,” kata Lendo Novo.
Karena misi manusia di dunia ini untuk mengembangkan dan menjaga lingkungan. Itu artinya, orang yang paling ramah di muka bumi adalah manusia. Tanaman, binatang dan seluruh makhluk hidup lainnya semestinya kalah dari manusia.
“Namun kebanyakan dari kita tidak pernah diajarkan dari sejak kecil terkait pemahaman ecoliteracy ini. Kita cuma diajarkan calistung alias baca tulis hitung dan sebagainya,” papar Lendo.
Pada akhirnya, pendidikan yang tidak komprehensif terkait manusia dan alam menyebabkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
“Sekolah alam kami dimulai dengan cara konservasi berbagai macam makhluk hidup yang kita sediakan. Sebelum mendirikan sekolah alam, kita harus melakukan inisiatif konservasi untuk media belajar bagi peserta didik. Mereka belajar sains, teknologi dan sosial. Itu semua dari alam,” tutupnya. (Hendriyanto)