Sebanyak 2.500 mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia sudah diterjunkan mengajar di Sekolah Dasar dalam program Kampus Mengajar Perintis (KMP). Mereka ditugaskan di 324 kabupaten/kota dengan 688 SD yang dipilih. Para mahasiswa ini sudah melalui penyeleksian yang dilakukan oleh pihak kampus, LPDP serta tim Kemendikbud. Lalu kemudian mengikuti pelatihan selama 5 hari sebelum akhirnya mereka diterjunkan ke lapangan.

Di tempat mengajar masing-masing, mahasiswa KMP menemukan beragam pengalaman unik dan menarik. Pengalaman itu mereka bagikan dalam acara sharing session yang diselenggarakan oleh Kemendikbud pada Sabtu, 24 Oktober 2020. Pengalaman itu juga ditulis oleh para mahasiswa melalui aplikasi Padlet.

Hana Norita Togatorop dari Universitas Negeri Medan (UNIMED) bercerita bahwa ia dan teman-temannya mendapat tugas mengajar di SD PAB 20 BANDAR KLIPPA, Sumatera Utara. Hana menyampaikan kesan pertama saat menjalankan program KMP sangat sulit beradaptasi dengan metode Pembelajarna Jarak Jauh (PJJ).

“Karena ketika ingin melakukan visit home ke masing-masing siswa, ternyata jarak rumah dari sekolah cukup jauh. Akhirnya solusi yang diberikan adalah dengan belajar bersama di sekolah. Dan saya mengajar di kelas 2. Pembelajaran dilakukan dengan membagi siswa menjadi dua gelombang yaitu pagi dan siang, demi menjalankan protokol kesehatan,” papar Hana.

Namun setelah berjalan beberapa waktu, proses pembelajaran itu mendapat protes dan kritik dari kalangan masyarakat tertentu, sehingga pembelajaran tatap muka di sekolah dihentikan. Hana dan teman-temannya beserta pihak sekolah bingung dengan situasi yang dihadapi.

Melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) melalui daring (dalam jaringan) tidak mungkin karena keterbatasan akses internet dan kondisi siswa yang tidak punya smartphone atau laptop. Mengajar dengan mendatangi masing-masing rumah siswa juga sulit karena jaraknya yang jauh-jauh. Sedangkan belajar di kelas, meski sudah menegakkan protokol kesehatan, juga masih diprotes oleh kalangan masyarakat tertentu.

”Akhirnya kami melakukan pembelajaran di sudut sekolah dan di kontrakan kami,” kata Hana tentang solusi yang mereka temukan untuk tetap memberikan pembelajaran kepada siswa.

Lain lagi yang dialami Lulu Isthifa, Mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Hingga saat ini ia malah belum praktik mengajar. Lulu Isthifa lebih banyak mendapat tugas melakukan sharing dengan guru dan pihak yayasan. Lulu mengaku ia lebih sering mengajarkan para guru bagaimana mengakses internet.

”Saya belum praktik mengajar, tapi saya sudah sering ikut kegiatan sekolah seperti rapat dengan guru-guru, mengajarkan mereka mengakses internet, pembuatan media pembelajaran, dan memasukkan materi ke dalam PPT,” cerita Lulu.

Sementara itu, kendala yang dihadapi oleh Lulu dan guru-guru adalah susahnya mendapatkan izin dari Kepala Yayasan untuk dapat bebas bergerak mengembangkan inovasi pembelajaran, terutama pembelajaran tatap muka akibat pandemic Covid-19 ini.

“Kepala yayasan sangat tidak setuju dengan adanya pembelajaran tatap muka dan door to door. Khawatir akan keselamatan guru dan siswa. Sementara pembejaran daring tidak semua orang tua bisa mengakses internet dengan baik. Sedangkan dari guru-guru pun banyak sekali yang mengeluh tentang tertumpuknya perkejaan siswa yang belum dikoreksi,” imbuh Lulu.

Mawar Citra Dewi, mahasiswa Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo bercerita pengalamannya ikut program KMP. Ia mengatakan semenjak mengikuti KMP, Mawar merasa semakin semangat menjalani hari karena memiliki kegiatan baru serta tuntutan pekerjaan sebagai guru bantu.

“Sejak ikut KMP saya menjadi semangat, guru-guru pun sangat ramah dengan mahasiswa. Saat pertama konsultasi datang ke sekolah disambut dengan hangat, kegiatan di sekolah lebih menyenangkan dan fasilitas sekolah sangat memadai,” ungkap Mawar.

Ia menyampaikan pada saat melakukan praktik pembekalan media pembelajaran, ia dan para guru yang lain pun semakin akrab. Mereka saling membantu satu sama lain sehingga kegiatan mengajar menjadi menyenangkan. “Kami mahasiswa dan para guru dapat saling membantu dan lebih akrab. Kegiatan jadi semakin seru, nggak bosan,” katanya.

Mawar melanjutkan, ada beberapa kendala saat melakukan proses pembelajaran, khususnya saat melaksankan pembelajaran secara daring karena tidak semua siswa memiliki gawai.

”Pembelajaran daring tidak maksimal karena tidak semua siswa memiliki android. Jika punya juga masih bergabung dengan orangtua. Sedangkan HP orangtua dibawa kerja. Jadi saat pembelajaran daring dilaksanakan, tidak semua anak bisa mengikuti dan akhirnya tertunda,” jelas Mawar. (Hendri/Kumi)