Menjadi guru bukan cita-cita Asep Heryanto. Apalagi harus mengajar di pedalaman Sukabumi, sungguh jauh dari bayangan. Asep bercita-cita ingin jadi tantara. Makanya setelah lulus SMA, ia daftar ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).
”Tapi tidak lulus. Padahal waktu SMA saya lulusan terbaik di kota Sukabumi,” kenang Asep. Tidak menyerah sampai di sana, ia kemudian ikut penelusuran minat bakat bibit unggul daerah dalam bidang kedokteran dan diterima di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Diponegoro. Cuma tidak diambil, karena gaji ayahnya sebagai kepala sekolah tidak cukup untuk membiayai kuliah.
Takdir rupanya menuntun Asep mengabdi pada negara melalui cara lain, yaitu menjadi guru. Jalan takdir menjadi pengajar diyakini Asep tidak lepas dari peran keluarga. Karena latar belakang keluarganya pengajar. Ayahnya seorang pensiunan Kepala Sekolah Dasar.
Asep lahir dan dibesarkan di Sukabumi, tepatnya di Sukabumi Selatan, di Kampung Cibungur Desa Telaga Murni, Kecamatan Cibitung, sekitar 130 kilo meter dari Kota Sukabumi.
”Sejak saya tidak bisa melanjutkan pendidikan kedokteran dan gagal jadi tentara, saya kuliah D2 di STAI Syamsul Ulum. Lalu melanjutkan S1 Uninus Bandung. Alhamdulillah pada tahun 2013 saya mendapatkan beasiswa dari Kemendikbud untuk melanjutkan S2 di UPI Bandung,” papar Asep.
Cari Tambahan Penghasilan, Kerja Jadi Satpam
Sama seperti para tenaga pengajar lainnya, sebelum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Asep lebih dulu menjadi guru honorer yang tugasnya berpindah-pindah. Untuk mencari tambahan penghasilan, Asep sempat bekerja sebagai satpam di kantor PT. Telkom Cabang Sukabumi. Ia melakukan pekerjaannya menjadi satpam setelah pulang mengajar. “Jadi siang hari saya mengajar, malamnya saya menjadi satpam,” ujarnya.
Setelah pindah-pindah ke banyak sekolah, pada tahun 2002 ia mendapat SK sebagai Guru Bantu Sementara (GBS). Tahun 2003 Asep ikut tes CPNS dan lulus. ”Saya sempat gak percaya sekali ikut tes CPNS langsung lulus. Semntara waktu ikut tes tentara saya gak lulus-lulus. Mungkin ini memang takdir saya untuk menjadi pengajar,” katanya.
Bulan Desember mendapatkan SK CPNS, Asep langsung ditugaskan ke pelosok yang sangat jauh dan jarang disentuh oleh orang banyak, yaitu di SD Negeri Cikawung Kecamatan Cibitung Kabupaten Sukabumi.
Menerjang Arus Sungai Demi Mengajar Anak-anak
Karena sudah punya pengalaman mengajar di pedalaman saat masih honorer, Asep tidak keberatan ditugaskan di daerah terpencil dengan fasilitas serba terbatas dan infrastruktur tidak memadai. Selain itu ada tujuan mulia yang selalu membuat Asep semangat mengabdi di pedalaman.
“Yang membuat saya tetap semangat, selain ingin mengubah tempat terpencil menjadi tempat yang baik buat anak-anak, juga ingin memberikan ilmu yang bermanfaat bagi mereka,” tegas Asep.
Mengajar di daerah terpencil dan jauh dari jangkauan masyarakat perkotaan tentu tidak mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh asep, selain sarana prasarana yang serba minim, juga akses menuju sekolah yang penuh tantangan. Ia harus berjibaku melawan arus suangai dan muara jika sedang pasang agar bias menyebrang menuju sekolah tempat ia mengajar.
Jalan menuju ke sekolah jauh sekali. Ada 2 alternatif jalan yang ditempuh untuk bisa ke sekolah. Yaitu menempuh jalur pantai dengan melintasi sebuah sungai atau melintasi muara. Kalau lagi pasang bisa sangat membahayakan jika menyebarang tanpa perhitungan matang.
Tidak ada jembatan penyeberangan menuju desa tersebut. Agar tidak membahayakan diri saat menyebrang sungai dan muara, Asep terpaksa harus menunggu air sampai surut. Kalau sudah surut pun tidak bisa begitu saja dilewati. Karena kalau membawa kendaraan motor harus digotong dan dibantu oleh orang-orang sekitar.
“Sekolah kita serba kekurangan dimulai dari buku, alat peraga, modul-modul pembelajaran, peralatan IT seperti laptop, infocus dan sebagainya. Tapi saya sendiri menyikapi serba kekurangan ini sebagai suatu tantangan. Jangan gara-gara serba terbatas kita tidak semangat untuk memberikan ilmu kepada anak-anak yang sangat membutuhkan,” kata Asep.
Ia mengakui rekan-rekannya sesama guru PNS tidak ada yang mau ditugaskan ke daerah terpencil itu. Oleh karenanya, di sekolah tempatnya kini mengajar semua guru honorer. Hanya Asep yang PNS.
Meskipun tempat mengajar Asep serba kekurangan dengan akses yang tidak mudah dijangkau, namun ada alasan yang membuat Asep tetap semangat dalam menjalankan tugasnya. Yaitu karena melihat semangat anak-anak didiknya dalam menuntut ilmu serta keramahan warga sekitar.
“Yang menjadi kebahagiaan saya adalah anak-anak di sana itu selalu antusias menerima kami untuk belajar. Sampai-sampai saya suka terharu dengan anak-anak di sana yang begitu semangat untuk belajar,” ujar Asep.
Di masa pandemi Covid-19 ini, Asep menghadapi kendala dalam melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dalam jaringan (daring). Karena di daerah sekolahnya tidak ada jaringan internet.
Di daerah tempat saya mengajar sangat susah sinyal. Kalaupun ada, kita harus lari-lari dulu ke atas bukit atau ke tempat-tempat tertentu, itupun hanya untuk nelpon saja. Jika untuk online atau mengirim pesan whatsapp tidak bisa,” jelasnya.
Selain itu, kendala kedua sarana-sarana di sekolah sangat kurang seperti laptop. Ketiga, anak-anak di sana pun hampir 80% tidak mempunyai gawai atau HP android, Sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pembelajaran daring.
”Sehingga sekolah kami tidak dilaksanakan pembelajaran secara daring, tapi pembelajaran secara luring (luar jaringan) dengan cara guru berkunjung ke rumah-rumah siswa,” cerita pria kelahiran 11 Agustus 1976 ini.
Untuk melaksanakan pembelajaran secara luring, ia dan tenaga pengajar lainnya membuat kelompok-kelompok kecil mengumpulkan maksimal 7 orang anak untuk diajar. Segala keterbatasan yang ada ditambah wabah Covid-19 tidak serta-merta menyurutkan semangat Asep dan guru lainnya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak Indonesia yang membutuhkan. Asep berharap pendidikan di Indonesia bisa lebih baik dan setara.
“Mudah-mudahan pendidikan di Indonesia terjangkau, lebih merata, pendidikan murah, terutama bagi anak-anak yang ada di pedesaan dan lingkungan terpencil. Sehingga anak-anak yang miskin, jauh dari perkotaan bisa tetap mengakses pendidikan semaksimal mungkin, sehingga mereka bisa disetarakan dengan anak-anak yang ada di perkotaan,” pungkas Asep. (Kumi/Hendri)