Tumbuh kembang karakter anak tergantung pada didikan keluarga. Karena keluarga merupakan lingkungan terkecil, terdekat dan terdiri dari orang-orang yang paling didengar serta dijadikan contoh oleh anak-anak.

Indra Dwi Prasetyo, praktisi pendidikan sekaligus Direktur di Pijar Foundation serta Co-Chair Y20 Indonesia 2022 mengatakan, keluarga selalu memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, termasuk dalam hal pendidikan. Ada adagium yang sering didengar bahwa pendidikan pertama kali terjadi di kamar tidur anak, bukan di ruang kelas.

“Pendidikan mengenai kepemimpinan, misalnya, didapatkan anak ketika ia melihat ayahnya bekerja dan memimpin keluarga. Sama halnya mengenai nilai-nilai kasih sayang, kelembutan dan menghargai sesama, justru didapatkan oleh sang anak jauh sebelum mereka mengenal abjad, melainkan melalui ibunya,” ujarnya.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa keluarga berperan dalam pendidikan anak jauh lebih lama dari ruang-ruang kelas formal seperti SD, SMP, SMA dan universitas. Pendidikan sepanjang hayat ini memainkan peranan sentral dalam tumbuh kembang anak, mulai dari ia kecil, remaja hingga dewasa.

Penguatan Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak

Indra melihat bahwa pendidikan di Indonesia memiliki ciri khasnya tersendiri. Misalnya, banyak orang tua Indonesia yang melakukan “pengajaran”, jauh sebelum anak lahir dengan cara mendongeng atau mendoakan si anak dengan doa-doa yang baik, ketika masih di dalam kandungan. Afirmasi positif yang dimulai, bahkan sebelum anak lahir, setidaknya dapat dilihat sebagai ajang persiapan orang tua menjadi pendidik sebelum melahirkan anaknya. 

“Ketika sang anak lahir, orang tua Indonesia berperan sebagai “norm setter” bagi si anak dengan cara mengajarkan mereka nilai-nilai dan kearifan yang tidak hanya terdapat di Indonesia secara umum, namun juga yang keluarga tersebut anut. Nilai dan norma spesifik seperti itu, sekali lagi, sulit untuk mereka dapatkan di bangku-bangku kelas nantinya. Nilai dan norma tersebut bermanfaat menjadi kompas bagi si anak ketika ia remaja maupun dewasa,” tutur Indra.
Memang tidak dapat dipungkiri masih banyak keluarga yang tidak memahami bagaimana peran keluarga yang begitu besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Ada yang acuh, ada juga yang memang benar-benar tidak mengetahui cara mendukung pemenuhan pendidikan bagi anak-anaknya. Indra menyampaikan setidaknya ada tiga pendekatan cara keluarga dalam mendorong atau mendukung pendidikan anak-anaknya.

Pendekatan pertama adalah ketika anak-anak masih kecil. Dalam hal ini, orang tua berperan sebagai pemimpin bagi si anak. Tindak dan tutur orang tua akan sepenuhnya ditiru oleh sang anak. Oleh karenanya, fase ini substansial dalam membentuk kepribadian anak di awal. 

Fase kedua adalah di mana anak-anak menginjak remaja. Di fase ini, keluarga berperan sebagai “teman” bagi si anak. Orang tua harus sadar bahwa si anak sudah memiliki sedikit otoritas untuk membuat keputusan-keputusan, walau tidak semua dalam hidupnya. Di fase ini, kedekatan keluarga terhadap anak sangat penting.

Fase terakhir adalah ketika anak sudah menginjak dewasa, di mana orang tua bertindak sebagai “observer” dalam kehidupan si anak. Keluarga di fase ini berperan sebagai pusat konsultatif atau ruang bertanya ketika diperlukan. 

“Di fase ketiga ini, anak sudah memiliki otoritas untuk menentukan pilihan-pilihan di dalam hidupnya. Penting untuk diingat bahwa fase pertama dan fase kedua akan berpengaruh terhadap pilihan-pilihan yang akan mereka lakukan di fase ketiga ini. Secara prinsipal, keluarga memainkan peranan kunci dalam tumbuh kembang anak,” kata pria lulusan Master of Education di Monash University Australia ini.

Dalam kesempatan berbeda, Wien Muldian, Ketua Umum Perkumpulan Literasi Indonesia menuturkan, pada dasarnya pendidikan yang utama ada dalam keluarga. Pendidikan yang berada di tengah masyarakat maupun di lembaga-lembaga pendidikan menurutnya itu adalah sebuah upaya mengajarkan anak peserta didik kepada proses pembelajaran formal, sistematis, berkurikulum dan bersilabus. 

Penguatan Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak

“Karena pada hakikatnya pendidikan itu bagaimana menguatkan pengetahun, mengembangkan karakter dan membangun keterampilan hidup,” ujar Wien Muldian.

Melihat peran keluarga terhadap pendidikan khususnya pada masyarakat di Indonesia, ia menilai keluarga di Indonesia harus bisa memahami setiap anggota keluarganya, termasuk anak-anak dalam proses pembelajaran dan literasi dari usia dini, usia pra-remaja dan remaja.

Keluarga harus memahami kecenderungannya pada minat pengetahuan tertentu, keterampilan tertentu, pada karakter-karakter baik yang bisa dikembangkan pada kesenian, pada teknologi, dan itu harus bisa di capture oleh keluarga. 

“Di situlah keluarga perlu mengawal literasi anak sampai di tingkat remaja. Karena ini menjadi bagian penting pondasi-pondasi yang bisa dibangun di dalam keluarga,” kata penggiat literasi ini. 

Wien menjelaskan literasi bukan membaca, melainkan suatu keterampilan tindak lanjut dari membaca. Membaca sama halnya seperti menulis, menyimak, berbicara, itu masuk ke dalam keterampilan berbahasa. Sementara yang dimaksud dengan keterampilan literasi adalah yang ditindak lanjuti setelah keterampilan membaca. 

Kemudian dari tingkat membaca ini akan berlanjut ke tingkat lebih jauh, yaitu membandingkan sumber-sumber pengetahuan untuk menguatkan pemahaman seseorang, atau disebut  mengkomparasikan berbagai sumber bacaan, mengeksplorasi apa yang dia baca menjadi pengetahuan. Di situlah literasi jadi penting untuk mengolah pengetahuan yang didapat, serta digunakan untuk membangun kapasitas dirinya. 

“Nah, proses itu penting didukung oleh keluarga, dengan cara keluarga terutama orang tua memahami kecenderungan anaknya dalam mendalami pengetahuan apa. Dan itu harus didukung sumber bacaannya, akses pada komunitas yang mendukung minat pengetahuannya, termasuk yang ada dalam tengah-tengah keluarga yaitu perpustakaan keluarga,” jelasnya.

Melalui ruang belajar, Wien mengatakan setiap anggota keluarga bisa berbagi pengetahuan, minat dan pengalamannya, menyampaikan apa yang mereka tulis, apa yang mereka ciptakan ke tengah-tengah keluarga untuk meminta masukan.

“Maka di situlah proses literasi terjadi dan itu harus didukung oleh para kepala keluarga karena itu akan berdampak pada mereka, baik di sekolah maupun di di tengah-tengah masyarakat,” tambahnya.

Dalam mengembangkan literasi pada anak, ada strategi yang dapat dilakukan oleh keluarga terutama orang tua. Pertama, membangun lingkungan fisik yang akrab dengan literasi di tengah-tengah keluarga, paling tidak dengan menyiapkan sebuah perpustakaan keluarga, area ruang baca atau ruang belajar. 

“Dalam ruangan tersebut tidak melulu bisa melakukan kegiatan membaca buku cetak, tetapi juga bisa mengakses film tontonan, menjadikan ruang-ruang untuk percakapan-percakapan,” kata Wien.

Kedua, membangun interaksi atau sosial afektif, di mana setiap keluarga yang datang ke rumah bisa berbagi pengetahuan dan pengalamannya dan itu akan terdokumentasi dan bisa menjadi bagian keseharian dari setiap keluarga. Ketiga, setiap keluarga harus mengapresiasi karya setiap anggota keluarganya. Misalnya ada yang menulis sebuah cerita pendek lalu membacakannya ke tengah-tengah anggota keluarga lainnya, kemudian keluarga memberikan kritik yang membangun.

“Berikan ruang yang terbuka bagi minat anak-anak, berikan akses, dukungan serta apresiasi. Dan harapan saya ini bisa dilakukan oleh setiap keluarga yang ada di Indonesia dalam mengembangkan kapasitas setiap anggota keluarganya, dan akhirnya berpengaruh terhadap pendidikan yang dikembangkan dan juga literasi yang dikelola menjadi bagian penting dari kapasitas hidupnya,” tandas Wien.

Upaya Orangtua dalam Menghadapi Era Digitalisasi 

Perkembangan teknologi yang pesat memiliki peranan penting dalam keterbukaan informasi pada era ini. Anak-anak di era saat ini merupakan salah satu penikmat teknologi, di mana mereka dengan mudahnya beradaptasi dengan berbagai perkembangan teknologi.

Mengenai hal ini, Indra yang juga fokus pada gerakan literasi pendidikan di sosial media menilai, digitalisasi adalah salah satu cara atau metode dalam melakukan aktivitas untuk mencapai sebuah tujuan. Tapi tentu saja dampak negatif dari dunia digital pada anak harus diminimalkan.

Orang tua sejak dulu sudah mengajarkan ke anak mengenai prinsip-prinsipnya. Misalnya, fokus untuk belajar di jam-jam belajar daripada bermain game di handphone. Atau, melarang untuk melakukan tindakan negatif baik di ruang nyata maupun digital. Atau, jangan mengerjakan suatu hal secara berlebihan, dan seterusnya.

“Oleh karenanya, saya pikir orang tua wajib untuk memberikan nilai-nilai prinsip kepada sang anak, bukan metode digitalnya. Karena metode mudah untuk dipelajari di bangku sekolah atau platform belajar online, namun nilai prinsip yang melandasi metode tersebut yang jauh lebih esensial untuk diajarkan kepada si anak,” imbuhnya.

Sementara itu Wien Muldian berpendapat di era teknologi ini generasi Z yang ada di usia sekolah memiliki gaya belajar visual yang lebih dominan. Di sinilah Wien menghimbau keluarga memahaminya dan juga perlu sebuah coaching atau pendampingan dari anggota keluarga yang satu ke anggota keluarga yang lainnya dengan melibatkan teknologi.

“Jika keluarga sudah paham, maka akan mudah melakukan proses belajar bersama, belajar secara kolektif untuk memahami potensi setiap anggota keluarga, potensi setiap anak mereka dalam mengembangkan diri mereka. Jika sudah mengetahui keterampilan apa saja yang diminati oleh anak-anaknya, akan memudahkan orang tua memberikan aplikasi apa saja yang bisa dimanfaatkan oleh setiap anak yang berbeda-beda. Beragam aplikasi juga sudah tersedia dimana-mana,” pungkasnya. (*)