Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan bahwa Kemendikbud masih memiliki PR terkait pemenuhan hak anak yang harus diselesaikan bersama. Kemendikbud tidak bisa menyelesaikan PR itu sendirian. Dibutuhkan kemitraan dengan berbagai pihak, saling bersinergi dengan banyak kementerian, lembaga, organisasi, penggerak peduli pendidikan, serta dunia usaha. Sinergi itu perlu dibangun secara terus-menerus.
Demikian diungkapkan Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud dalam webinar Analisis dan Pemetaan Realitas dan Tantangan Pemenuhan Hak Anak di Sekolah Dasar yang diselenggarakan pada hari Selasa, 13 Oktober 2020. Hadir pula Nahar, S.H., M.Si. (Deputi Perlindungan Anak, Kementerian PPPA), Dr. Kanya Eka Santi, MSW., (Direktur RSA, Kementerian Sosial), Tata Sudrajat (Yayasan Sayangi Tunas Cilik), Hamid Patilima (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), serta Dr. dr. Ekodjatmiko Sukarso (Ketua STIH Dharma Andigha) sebagai narasumber.
“SDM-SDM yang berkualitas tentu harus dipersiapkan sejak dari satuan pendidikan terkecil, berawal dari PAUD yang merupakan masa emas anak-anak kita dan jenjang Sekolah Dasar. Mempersiapkan SDM yang lebih baik sejak dini harus dipersiapkan dengan membekali anak-anak kita menjadi pelajar-pelajar yang pancasila,” kata Sri Wahyuningsih.
Akan tetapi ada tantangan yang dihadapi dalam satuan pendidikan Sekolah Dasar yaitu tindak kekerasan masih banyak terjadi di sekolah, termasuk Sekolah Dasar. Permasalahan inilah yang harus terus ditanggulangi untuk menuju visi Presiden RI untuk melahirkan SDM berkualitas.
Dari data yang diperoleh Direktorat Sekolah Dasar pada tahun 2018, satu dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Lalu kemudian 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. Sementara itu satu dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik.
Menurut data dari OECD tahun 2019, perbandingan kasus kekerasan khususnya bullying antar negara, Indonesia menempati urutan kelima. Tidak seperti negara lainnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak dialami oleh advantaged students. Sementara Kekerasan pada anak tersebut bisa ditinjau dari beberapa karakteristik yaitu kekerasan secara fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan penelantaran, serta kekerasan eksploitasi.
“Kekerasan ini sering kita temui tapi juga sering tidak kita sadari dan tidak kita pahami bagaimana solusi penyelesaiannya. Banyak dampak-dampak yang ditimbulkan secara individu terhadap anak-anak yang mengalami kekerasan-kekerasan dari lima karakteristik yang disebutkan tadi, yang menjadi kewajiban kita semua untuk melakukan identifikasi di sekolah, di lingkungan kita dan keluarga kita untuk menghindari terjadinya kekerasan pada anak,” ujar Sri Wahyuningsih.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak yang dapat hidup tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Yayasan Sayangi Tunas Cilik sudah melakukan uji coba di Provinsi NTT dan di beberapa daerah lain tentang bagaimana penanganan kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan ini bisa dinyatakan berhasil.
“Tentu saja uji coba penanganan ini sangat relevan dengan semangat Pelajar Pancasila. Bagaimana kita menanamkan, membiasakan dan mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan anak-anak kita, pada kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat sehingga dengan demikian perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak itu dapat terpenuhi,” papar Sri Wahyuningsih.
Tata Sudrajat, Deputy Program Impact and Policy dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik mengatakan, implementasi pembelajaran save the children dan strategi sosialisasi perlindungan anak di Sekolah Dasar berdampak positif baik pada guru maupun peserta didik. Perubahan pada guru diantaranya adalah mindset yaitu memikirkan tumbuh kembang anak dan keterlibatan anak dalam menangani masalah, self-regulation dimana mengubah sikap sebelum bereaksi dengan diam atau berhenti sejenak, dan atau keluar kelas sesaat, dan berupaya merubah suasana dengan kegiatan pengganti yang menyenangkan (saat menghadapi perilaku peserta didik yang tidak diharapkan).
“Ada self-feeling dimana guru bisa menjadi lebih rileks dan bahagia. Actions yaitu menggunakan gestur tubuh dan sentuhan lembut untuk menciptakan hubungan kehangatan dengan peserta didik, serta communication yaitu kata-kata positif dan banyak bertanya untuk mengetahui alasan-alasan di balik suatu perilaku tertentu,” ujar Tata Sudrajat.
Dari penerapan sikap-sikap tersebut pada guru turut memberikan perubahan juga pada anak, dimana mereka mulai belajar cara-cara untuk mengatur emosi, mengungkapkan pikiran dan pengalaman pada guru serta meluangkan bermain dengan guru setelah belajar. (Kumi/Hendri)