“Kamu memang guru terpencil tapi bukan untuk dikucilkan, kamu benar guru daerah tertinggal tapi jangan mau ketinggalan, dan kamu sungguh guru daerah terbelakang tapi tak harus di belakang. Didik, ajar, dan inspirasilah siswamu menjadi minimal sama seperti dirimu.”
Edi Arham, S.Pi., M.Pd - SD Negeri Lalowata, Sulawesi Tenggara.

_______ 

Guru pahlawan tanpa tanda jasa bukan sekedar istilah, melainkan cerminan nyata dari pengabdian para pendidik. Misalnya saja Edi Arham, seorang guru yang rela mengajar di desa pedalaman Sulawesi Tenggara, tepatnya mengajar di SDN Lalowata.

Terhitung sudah 12 tahun Edi mengabdi sebagai tenaga pengajar di SD Negeri Lalowata, Kec. Latoma, Kab. Konawe Selatan, Prov. Sulawesi Tenggara. Banyak suka duka yang ia jalani selama mengajar di pedalaman, salah satunya ia harus rela meninggalkan keluarga lima hari dalam seminggu. Selain itu ia juga harus menempuh perjalanan sejauh 148 km untuk sampai ke tempat mengajar.

“Saya harus menempuh jarak dari rumah ke tempat tugas sejauh 148 km karena beda kabupaten. Hal ini membuat saya harus selalu meninggalkan istri dan anak setiap senin subuh. Kembali berkumpul dengan mereka nanti setelah hari Jumat. Selama lima hari harus meninggalkan mereka untuk menjalankan tugas,” tutur Edi.

Meski demikian Edi mengatakan ia tetap merasa senang dan semangat untuk mengajar meskipun di pedalaman. Karena bagi Edi hampir semua situasi dan kondisi yang ada di daerah 3 T itu menyenangkan. Hal tersebut karena keasrian lingkungan serta keramahan warga.

“Kondisi di daerah 3 T bagi saya tetap menyenangkan karena lingkungannya yang masih asri, indah, dan damai membuat saya nyaman. Selain itu orang tua siswa yang ramah dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan membuat saya serasa di tengah kumpulan keluarga dan kerabat sendiri. Demikian pula anak-anak yang masih polos dan sederhana membuat saya selalu bersemangat untuk mendampingi mereka belajar.” Papar laki-laki kelahiran Birangloe, 9 Juni 1979 ini.

Selama ini Edi dan tenaga pengajar lainnya tetap semangat memberikan pembelajaran kepada siswa meskipun dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang menghadang. Namun saat wabah pandemi melanda yang mengharuskan sekolah melakukan proses pembelajaran jarak jauh melalui daring dan luring, hal ini pun menjadi tantangan lainnya bagi Edi dan guru lain di sana. Apalagi di daerah tempat ia mengajar belum ada jaringan internet, bahkan listrik pun belum ada.

“Seperti telah diketahui bahwa hampir seluruh daerah 3T belum terakomodasi oleh jaringan internet, bahkan jaringan listrik. Untuk itu, guru dan sekolah sedikit kesulitan untuk mengimplementasikan pengelolaan sekolah dan pembelajaran yang berbasis digital. Apalagi bila harus mengkoneksikan dengan jaringan internet. Mengatasi masalah itu, kami menggunakan beberapa aplikasi yang berbasis luring. Khusus untuk masa pandemi ini, pembelajaran dilakukan secara luring melalui program guru kunjung. Dalam pembelajaran, saya dan guru lain juga sering menggunakan laptop dan android sebagai media yang membantu proses pembelajaran,” papar Edi.

Edi dan rekan-rekan guru lainnya menggunakan strategi pembelajaran Dinamis Kontekstual dalam memberikan pengajaran kepada siswa di masa pandemi Covid-19. Strategi ini digunakan untuk menyesuaikan dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat di tempat tugasnya. Selain itu juga untuk mengakomodasi kondisi siswa dan orang tua siswa.

“Dalam mengimplementasikan strategi pembelajaran dinamis kontekstual, saya mengintegrasikan pembelajaran yang berbasis STEAMEC (Science/sains, Technology/teknologi, Engineering/teknik, Arts/seni, Mathematics/matematika,  Ecology/lingkungan ,dan Character/karakter). Dua muatan terakhir bertujuan mengakomodasi masalah lingkungan dan karakter yang disadari adanya ancaman kelestarian lingkungan dan krisis karakter yang terjadi di tengah masyarakat,” jelas Edi.

Pembelajaran dinamis kontekstual yang ia implementasikan ini bersifat terbuka dan akomodatif sehingga sangat sesuai dengan prinsip utama pembelajaran di masa Covid-19 yaitu tidak membahayakan dan realistis seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020. Bagi Edi sendiri, kurikulum darurat bagi daerah 3T dan daerah urban tidak bisa disamaratakan. Hal tersebut karena daerah 3T memiliki keunikan tersendiri. Oleh karena kurikulum yang harus diterapkan adalah kurikulum yang dapat mengakomodasi kekhususan-kekhususan tersebut. Selain itu juga harus bersifat dinamis dan kontekstual sesuai dengan kecakapan hidup dan kebutuhan masyarakat.

“Wilayah 3T berbeda dengan daerah yang sudah berkembang dan maju. Bahkan untuk wilayah-wilayah yang sama-sama memiliki status wilayah 3T, banyak yang memiliki perbedaan signifikan, seperti kondisi geografis, kondisi sosial, dan tingkat ekonomi masyarakat, khususnya siswa dan orang tuanya. Harusnya ini mendorong sekolah dan guru memberikan perlakuan yang khusus pula. Demikian juga pemerintah diharapkan mempertimbangkan kekhususan tersebut dalam menghasilkan kebijakan. Kurikulum darurat yang cocok tentunya adalah kurikulum yang dapat mengakomodasi kekhususan-kekhususan itu. Dan untuk saya, kurikulum tersebut harus bersifat dinamis dan kontekstual, sesuai dengan kecakapan hidup dan kebutuhan masyarakat,” katanya.

Edi menuturkan selama ini dukungan pemerintah pusat, daerah, dan sekolah dalam peningkatan kualitas SDM sudah baik. Hanya saja, masih banyak program pemerintah pusat yang sulit diterjemahkan dan dilaksanakan pada tataran daerah dan sekolah. Penyebabnya cukup kompleks. Diantaranya adalah dukungan anggaran dan kapasitas SDM. Selain itu, kesadaran guru akan meningkatkan kompetensinya masih perlu ditingkatkan.

Demi mewujudkan pendidikan yang merata dan melahirkan SDM-SDM berkualitas, pemerintah pun mengeluarkan program sekolah inklusif, dan hal ini wajib diterapkan di setiap sekolah di Indonesia tidak terkecuali di wilayah 3T. Edi mengatakan untuk tempat ia mengajar sendiri sudah sejak lama menerapkan program tersebut.

“Sejak awal kami sudah mengimplementasikannya. Apapun kondisi siswa tetap kami terima dan akomodasi. Bahkan pada beberapa kejadian, sekolah melakukan pendekatan kepada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk mau menyekolahkan anaknya. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman guru dalam hal mendampingi siswa yang berbeda dengan siswa umumnya, tidak mengurangi niat dan semangat guru memberikan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus,” Edi menjelaskan.

Dengan kondisi kekurangan serta keterbatasan yang dihadapi di tempat ia mengajar, ia tetap memiliki harapan yaitu ingin daerah pedalaman khususnya tempat ia mengajar bisa sama dengan di wilayah berkembang dan maju. Seperti kemudahan akses dan layanan pendidikan dapat dirasakan oleh semua masyarakat dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, program pemberian bantuan dalam bentuk beasiswa dan sarana penunjang pembelajaran, hendaknya dapat diberikan kepada seluruh siswa.

Untuk mewujudkan harapan tersebut Edi sadar perlu adanya dukungan dari semua pihak, selain itu juga ada gerakan yang harus dilakukan untuk mewujudkannya. Edi mengungkapan maka dibutuhkan kemitraan bagi peningkatan layanan pendidikan. bagi Edi sendiri kemitraan yang paling penting dibangun adalah dengan masyarakat dan pemerintah setempat (desa).

“Dukungan masyarakat dan pemerintah desa sangat penting karena mereka mengetahui pasti kondisi wilayah tersebut. Setiap program akan selalu kami konsultasikan dengan mereka sehingga tujuan dan tingkat keberhasilannya tercapai. Selain itu, kami juga membangun kemitraan dengan berbagai pihak dan profesi. Sebagai contoh kemitraan dengan pihak kesehatan dan kepolisian. Mereka kami minta untuk menginspirasi siswa dalam program ‘Aku dan Cita-citaku’,” tutur Edi.

Mengajar di daerah pedalaman bagi Edi sendiri bukan semata kewajiban dari negara sebagai PNS, namun karena panggilan dari Tuhan. Bahkan Edi rela meninggalkan keluarganya setiap minggu dengan menempuh jarak 143 KM. Hal tersebut karena ia melihat anak-anak didiknya yang juga memiliki hak untuk sekolah. Bahkan Edi belum berpikir untuk meninggalkan daerah tersebut meskipun ia sudah 12 tahun mengabdi di sana.

“Kecintaan saya terhadap anak-anak (siswa) di wilayah 3T serta kecintaan mereka kepada saya, membuat saya belum pernah berpikir untuk pindah ke luar wilayah 3T. Sudah sangat banyak guru yang mengajukan pindah dan itu membuat sekolah-sekolah di wilayah 3T banyak yang kekurangan guru. Kurun waktu 12 tahun mengajar di wilayah 3T pada sekolah yang sama bagi saya belum cukup. Masih banyak hal yang harus saya lakukan untuk anak-anak di wilayah 3T,” tegasnya.

Alasan lain yang membuat ia masih betah mengabdi di daerah 3T karena Edi memiliki impian mulia yaitu bisa mengantarkan anak-anak (siswa) berhasil mencapai cita-cita mereka. Edi juga menyampaikan Program “Aku dan Cita-citaku” menjadi cara menginspirasi mereka agar mau belajar dan bekerja keras untuk mencapai cita-cita.

“Alhamdulillah, hingga saat ini puluhan siswa telah duduk di bangku kuliah dan Insya Allah dalam beberapa waktu lagi mereka akan mencapai apa yang mereka inginkan. Saya ingin membuktikan kepada mereka dan orang tua siswa bahwa mereka juga bisa seperti orang-orang yang telah datang ke sekolah kami untuk menginspirasi,” pungkasnya. (Diah Asih Sukesi/Kumi/Hendri)