Sejumlah anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat melakukan kunjungan kerja ke kantor Direktorat Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Senayan, Jakarta, pada Rabu, 7 April 2021.

Mereka diterima dan disambut hangat oleh Direktur Sekolah Dasar Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., bersama jajarannya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Pertemuan digelar di ruang rapat lantai 18, Gedung E, Komplek Kemendikbud.

Para wakil rakyat dari Tanah Datar dan tuan rumah berdiskusi banyak hal terkait pendidikan dan problematikanya, khususnya di Kabupaten Tanah Datar. “Kami berkunjung ke sini untuk berdiskusi, mencari informasi dan berharap mendapatkan solusi atas persoalan pendidikan yang ada di daerah kami,” kata Benny Apero, A.Md, Ketua Panitia Khusus DPRD Tanah Datar.

Salah satu topik dalam diskusi itu adalah Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota. Pasal 2 ayat 7 menyebutkan, setiap  SD/MI  tersedia 2 (dua) orang guru yang  memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat  pendidik.

Anggota Dewan dari Tanah Datar khawatir aturan itu mengesampingkan kebutuhan sekolah terhadap pegawai lain. Misalnya pegawai tata usaha. Karena dalam peraturan itu hanya disebutkan guru. Tidak disebutkan pegawai lainnya seperi tata usaha dan penjaga sekolah.

“Dalam satu sekolah diwajibkan ada guru. Tapi di tahun 2020 ini yang menjadi kendala bagi kami adalah di setiap sekolah dasar itu dibutuhkan pegawai tata usaha,” ujar Benny Apero.

Dia berharap pemerintah pusat juga memberi perhatian terhadap pegawai selain guru, khususnya tata usaha yang memang sangat dibutuhkan keberadaannya.

“Tata usaha ini sangat besar fungsinya bagi lingkungan SD di Tanah Datar. Namun ini tidak diberikan perhatian penuh. Jadi kami harapkan ada perhatian dari Kemendikbud untuk kesejahteraan mereka. Karena tanpa tata usaha, kepala sekolah tidak merdeka,” tuturnya.

Menanggapi hal itu, Direktur Sekolah Dasar, Kemendikbud, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., mengatakan, masih ada miss komunikasi terkait kewenangan pemerintah pusat dan daerah mengenai pengelolaan pendidikan. Seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi, dimana salah satunya mengatur penanganan pengelolaan pendidikan yang menjabarkan dengan rinci tugas pemerintah pusat dan daerah.

“Untuk pengelolaan pendidikan jenjang PAUD, SD dan SMP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Jenjang SMA, SMK dan SLB menjadi kewenangan pemerintah provinsi, dan untuk perguruan tinggi menjadi kewenangan pemerintah pusat yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara untuk MI, MTS, MA termasuk pondok pesantren itu 100% menjadi kewenangannya Kementerian Agama,” jelas Direktur Sekolah Dasar.

Terkait kebutuhan di satuan pendidikan, Sri Wahyuningsih menyampaikan bisa mengacu kepada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 yang mengatur tentang organisasi sekolah. Dimana pemerintah pusat mewajibkan sekolah di setiap daerah minimal memiliki kepala sekolah, guru agama dan guru olahraga. Jika satuan pendidikan di setiap daerah menginginkan tenaga kependidikan yang lebih, pemerintah pusat tidak akan melarangnya selama pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah daerah.

“Kalau misal pemerintah daerahnya bilang setiap sekolah harus ada penjaga sekolah atau tambahan tenaga kerja lainnya seperti tata usaha, silahkan dilakukan sepanjang pembiayaannya dipenuhi oleh pemerintah daerah. Karena terkait pembiayaan itu juga menjadi kewenangan pemerintah daerah. Karena yang ditetapkan minimum oleh pusat adalah kepala sekolah, guru kelas, guru agama dan guru olahraga. Lebih dari itu menjadi kewenangannya pemerintah daerah,” imbuhnya.

Direktur Sekolah Dasar mengingatkan, pendidikan itu merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan tanggung jawab pemerintah daerah, mulai dari aspek pengelolaan sampai aspek pendanaan. Perlu sinergi pemerintah pusat dan daerah agar penyelengaraan pendidikan berjalan dengan baik.

“Pemerintah Pusat tidak akan sanggup membiayai kebutuhan pendidikan di setiap daerah. Memang ada undang-undang yang mengatur 20% dari dana APBN dialokasikan untuk pendidikan, tapi dana itu tidak semua di pemerintah pusat. Sebagian disalurkan melalui daerah. Di sinilah pentingnya kita berkolaborasi mengelola pendidikan,” kata Sri Wahyuningsih. (Hendriyanto)