Siapa sangka Boby Rahman, anak yang lahir dari keluarga kurang mampu_pekerjaan ibunya asisten rumah tangga (ART)_ kini berhasil menjadi Kepala Sekolah Dasar Negeri 016 Bongan, Kecamatan Bongan, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.

Perjuangannya hingga berada di titik saat ini tidak serta merta diraih begitu saja. Ada perjalanan panjang yang dilalui. Pria kelahiran 28 Desember 1980 ini menuturkan, karirnya tidak terlepas dari peran orang tua kandung serta orang tua angkatnya. Pada kelas 1 Sekolah Dasar, Boby diangkat anak oleh keluarga mapan. Di rumah itulah ibunya bekerja sebagai ART.

”Ibu saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada seorang pejabat di Kota Balikpapan. Beliau bernama Bapak Drs. H. Abdul Radjab dan Ibu Dra. Kartini. Pada waktu itu Bapak Abdul Radjab adalah seorang Camat Balikpapan Utara, sedangkan Ibu Kartini adalah seorang Kepala Sekolah Dasar. Keluarga pejabat tersebut lalu mengangkat saya sebagai anak asuhnya,” cerita Boby.

Ketika Boby lulus Sekolah Dasar, ibunya tidak melanjutkan bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga dan memilih pulang ke kampung halaman di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Sementara Boby masih tetap tinggal di keluarga tersebut untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Teknik Negeri Jurusan Teknik Logam. Setelah lulus, ia melanjutkan sekolah di SMK Jurusan Tata Boga.

“Setelah lulus SMK tahun 1999, saya langsung bekerja sebagai juru masak di restaurant di Kota Balikpapan selama setahun. Pada Mei 2000, saya diajak oleh kakak angkat saya yang bernama Suto ke pedalaman Kutai Barat. Beliau bertugas sebagai mantri kesehatan di kampung Jambuk Makmur, Kecamatan Bongan, Kabupaten Kutai Barat. Awalnya saya hanya membantu beliau di rumah, seperti memasak, berkebun dan membersihkan rumah,” tutur Boby.

Tak disangka, Boby yang awalanya hanya menemani kemudian diminta oleh kakak angkatnya untuk menggantikan beliau mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di SMPN 2 Bongan. Karena sang kakak angkat cukup sibuk, sering bepergian ke Samarinda untuk waktu yang lumayan lama, dua sampai tiga minggu. Sedangkan di sekolah tersebut belum ada guru Bahasa Inggris yang definitif.

“Saat itu sekolah tersebut baru dibangun oleh pemerintah, sehingga belum ada guru PNS sama sekali. Jadi yang mengajar adalah guru honorer semua. Lalu tidak lama kemudian pada bulan September tahun 2000, secara resmi saya diangkat menjadi guru honorer Bahasa Inggris di sekolah tersebut,” katanya.

Boby menuturkan awal ia menjadi guru hanya untuk mengisi waktu luang saja. Karena pada waktu itu honor seorang guru hanya Rp 2.500 per jam. Sedangkan jam mengajar Boby hanya 6 jam per minggu. Jadi, Boby hanya dibayar Rp 15.000 per minggu atau Rp 60.000 per bulan. Akan tetapi bukan honor yang ia lihat, melainkan menjadi manusia bermanfaat bagi umat yang menjadi penguat dirinya selama mengajar di pedalaman.

“Kakak angkat saya menasehati, jangan lihat gajinya, tapi lihatlah betapa ilmu kamu sangat bermanfaat bagi anak-anak di daerah ini. Saya akan beri kamu gaji Rp 100.000 untuk membantu di rumah ini. Nah, pada tahun 2001 gaji saya dinaikan menjadi Rp.100.000 per bulan,” cerita Boby terkait awal karirnya menjadi guru.

Karena Boby memegang teguh nasihat kakanya untuk terus memebagi ilmu pada anak-anak di daerah tersebut, pada tahun 2005 Boby kemudian diangkat menjadi tenaga guru kontrak oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Barat dengan gaji Rp 550.000 per bulan.

Terapkan Sistem Mengajar yang Inovatif dan Kreatif

Pada waktu itu, Boby mengajar untuk memenuhi kewajiban. Baginya, mengajar adalah mengajarkan materi pelajaran kepada siswa. Ia tidak pernah berpikir jauh, misalnya bagaimana nasib para siswa setelah mereka selesai atau lulus sekolah.

“Kan mereka bukan siapa-siapa saya, jadi untuk apa memikirkan nasib mereka. Toh saya sudah mengajarkan apa yang ada di buku. Bukankah saya dibayar oleh pemerintah untuk itu? Saat itu saya berpikirnya hanya begitu. Waktunya mengajar saya berangkat ke sekolah. Setelah mengajar saya pulang ke mess. Begitu terus hingga tahun 2008,” tuturnya.

Namun semua itu berubah ketika pada tahun 2009 ia diangkat menjadi Pegai Negeri Sipil (PNS) melalui jalur K-1 tanpa tes. Saat itu Boby terpaksa dipindahkan ke SD Negeri 010 Bongan (sekolah dampingan WWF Indonesia sejak tahun 2009). Karena pada saat diangkat PNS, ijazah Boby masih SMK, dimana tidak diperbolehkan seorang guru yang mengajar di SMP dengan ijasah SLTA sederajat.

“Karena hal itu, akhirnya saya menjadi guru SD. Ditahun yang sama, sekolah tersebut kedatangan tamu dari tim WWF Swedia yang tertarik melihat cara sekolah tersebut menangani sampah. Pada tahun 2010, pertama kalinya saya dikirim oleh kepala sekolah waktu itu, ibu Sri Astuti untuk mengikuti Pelatihan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development) di Bandung,” kata Boby.

Dalam pelatihan tersebut Boby merasa terkesan dengan metode yang diberikan oleh tim WWF Indonesia. Suasananya sangat santai, rilex dan menyenangkan. Tak ada kewajiban harus berpakaian formal. Tak ada kursi yang disusun rapi menghadap ke depan. Tak ada orang yang berbicara menggurui.

“Selama berjam-jam pembicara hanya memberikan materi secara singkat namun padat. Selebihnya kami banyak berdiskusi dan presentasi,” Boby mengenang masa pelatihan.

Setelah mengikuti pelatihan tersebut, selanjutnya setiap tahun Boby selalu dipercaya oleh Kepala Sekolah untuk berangkat pelatihan yang diselenggarakan oleh WWF Indonesia. Berkat selalu mengikui pelatihan dari WWF Indonesia hingga tahun 2011, membuat Boby menyadari bahwa ada yang salah dalam mindset-nya tentang menjadi seorang guru.

“Jika dulu saya menjadi guru hanya ingin mencari uang, sejak tahun 2011 saya menyadari bahwa menjadi guru itu adalah membuat dan membawa perubahan. Menjadikan siswa kita sebagai agen perubahan di masyarakat. Jika dulu saya mengajarkan materi pelajaran bulat-bulat hanya mengandalkan buku paket. Sejak saat itu saya mulai memilah-milah materi yang akan saya ajarkan,” katanya.

Boby kemudian mulai menerapkan sistem mengajar yang berbeda. Dimana ia membagi menjadi dua metode. Pertama ilmu pengetahuan yang hanya sekedar diketahui saja, yang kedua ilmu pengetahuan yang harus dipelajari secara mendalam. Jika dulu ia mengajar hanya mengandalkan buku paket semata, sejak saat itu ia mendapatkan sumber belajar bisa dari mana dan siapa saja.

“Jika dulu saya mengajar selalu di dalam kelas, tapi sejak saat itu saya sering mengajak siswa saya belajar di luar kelas. Ternyata belajar diluar kelas sangat menyenangkan bagi para siswa. Mereka selalu bersemangat setiap hari untuk turun ke sekolah, karena mereka tau bahwa hari itu akan ada petualangan baru dan seru yang akan kami hadapi di luar kelas,” tutur Boby.

Berkat kreativitas serta keaktifan Boby dalam mengajar, pada tahun 2014 ia diangkat menjadi Kepala Sekolah di SD Negeri 016 Bongan yang jaraknya sekitar 17 km dari sekolah tempat ia mengajar sebelumnya.

“Sekolah ini berada di daerah yang lebih terpencil lagi. Jalan menuju kesana sangat sulit. Jika musim panas jalananya berdebu. Sedangkan di musim hujan jalannya penuh kubangan lumpur,” ujarnya.

Suka Duka Mengajar di Pedalaman

Setiap pekerjaan, baik pekerja kantoran maupun tenaga pengajar, pasti ada suka dukanya. Begitu juga dengan Boby yang memiliki tanggung jawab menjadi Kepala Sekolah di daerah terpencil, banyak suka duka yang ia hadapi selama menjadi tenaga pengajar di sana. Menurut Boby hal yang menyenangkan mengajar di pedalaman adalah alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga meski sebagian telah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh orang luar, masyarakat yang sangat ramah, selain itu para siswanya pun sangat penurut.

“Kalau dukanya menjadi tenaga pengajar di pedalaman adalah perjalanan menuju kesana yang lumayan menguras andrenalin, minimnya sarana dan prasarana yang ada d isekolah. Ketika saya pertama kali ditempatkan di SDN 016 Bongan tahun 2014, gedung sekolahnya hanya ada satu, lalu disekat menjadi empat ruang. Padahal rombelnya ada enam. Tak ada kantor guru, tak ada WC, tak ada perpustakaan, tak ada ruang UKS, tak ada mushala, dan lain-lain. Yang ada hanya gedung tersebut,” katanya.

Karena keterbatasan sarana itu, Boby melanjutkan, para siswa yang belajar pun harus bergantian. Beum lagi kondisi bangunan yang pada saat itu tidak terawat. Ada banya coretan-coretan siswa di dinding sekolah dan kelas. Guru yang mengajar pun pada saat itu hanya berjumlah tiga orang. Satu PNS dan 2 orang guru honorer. Ijazahnya pun hanya SMA dan Paket C.

“Mereka bertiga ini adalah orang lokal yang terpaksa mengajar karena tak ada sarjana pendidikan yang mau ditempatkan di sana. Di bulan pertama saya bertugas di sana, hal yang pertama kali saya lakukan adalah melakukan pengecatan dinding sekolah dan kelas. Saya ajak para guru dan masyarakat untuk bergotong royong mengerjakannya. Para guru dan siswa saya berikan pemahaman tentang pentingnya kebersihan dan keindahan sekolah dan kelas. Mengajak mereka agar selalu menjaga kebersihan dan keindahan sekolah. Tak ada lagi yang boleh mencoret-coret dinding kelas, meja dan kursi. Semua harus bersih dan rapi,” katanya.

Selama setahun bertugas di sana, Boby melakukan pendekatan secara intensif ke Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Barat. Mengajukan permohonan agar dibantu sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh sekolah, termasuk meja dan kursi siswa. Karena meja dan kursi tersebut sudah tidak layak digunakan. Namun karena respons-nya lambat, Boby kemudian memilih untuk melakukan pendekatan ke kepala desa tersebut. Ia undang masyarakat, kepala adat, kepala desa, dan Badan Perwakilan Kampung (BPK) ke sekolah.

“Di sana saya presentasikan masterplan sekolah yang sudah saya rancang untuk tahun 2014 hingga tahun 2045. Mulai dari rencana membangun sarana dan prasarana sekolah hingga muatan kurikulum yang saya modifikasi sendiri. Alhamdulillah masyarakat yang hadir sangat setuju dengan program yang saya tawarkan. Mereka berkomitmen untuk membantu saya mewujudkan program tersebut,” cerita Boby.

Akan tetapi meski masyarakat dan Kepala Desa serta Kepala Suku menyetujui usul Boby, rintangan lain pun menghadang. Kendalanya adalah bahwa Dana Desa tidak boleh untuk membangun sekolah, kecuali membangun TK atau PAUD. Tidak habis cara Boby untuk memperjuangkan sekolah yang ia kelola menuju sekolah yang layak. Ia lalu mengundang  Pendamping Desa, Camat, Kepala Seksi Pendidikan Kecamatan, Pengawas Sekolah, dan aparat desa setempat untuk mendengarkan presentasi programnya serta kendala-kendala yang dihadapi sekolah.

“Alhamdulillah mereka sangat mendukung program saya. Akhirnya kami semua yang hadir di situ sepakat untuk mencari jalan terbaik diantara celah-celah aturan yang ada. Dana Desa kami rencanakan untuk membangun TK, Kantor PKK, dan Ruang Berkegiatan ibu-ibu PKK sesuai aturan. Lokasi pembangunannya berada di lahan sekolah. Sehingga pihak sekolah bisa bersama-sama menggunakannya,” ujar Boby.

Pada tahun anggaran 2018 digelontorkanlah Dana Desa sebesar Rp 450 juta untuk membangun tiga gedung tersebut, yang mana bentuk dan model gedungnya dorancang langsung oleh Boby.

“Saya rancang gedungnya berbentuk Lamin, yaitu rumah adat suku Dayak. Harapan saya agar sekolah ini memiliki karakter dan keunikan khas suku Dayak setempat. Sehingga jika orang berkunjung ke sana, mereka tidak akan menemukannya ditempat lain dari keunikan tersebut. Tetapi karena keterbatasan dana, mengingat untuk membuat bangunan sesuai rumah adat memerlukan biaya yang cukup besar, terpaksa ukiran patung dan tiang khas Dayak ditiadakan. Tetapi bentuknya secara garis besar sudah mengadopsi kebudayaan setempat,” papar Boby.

Seiring berjaannya waktu, kini sekolah yang dipimpinnya itu terus melaju cepat sehingga sudah memiliki banyak tenaga pengajar. Tapi ketika pandemi Covid-19 mewabah dan mengharuskan satuan pendidikan di Indonesia melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), banyak kesulitan yang harus mereka hadapi. Boby beserta pengajar yang lainnya tetap melakukan pembelajaran secara tatap muka, tapi dengan dibuat kelompok-kelompok kecil sesuai protokol kesehatan, karena tidak ada sinyal internet serta para siswa yang tidak banyak memiliki ponsel pintar.

“Ketika cuaca sedang hujan, mau tidak mau guru tetap harus berangkat ke sekolah melalui medan yang cukup sulit agar bisa memberikan materi pelajaran kepada siswa di masa PJJ. Tetapi ada hikmah yang bisa diambil dari kondisi saat ini yaitu para siswa dan masyarakat menjadi lebih memahami pola hidup bersih,” tuturnya.

Boby melanjutkan, tantangan terberat selama ini yang harus ia hadapi adalah sulitnya mengakses internet. Sementara siswa tetap harus diberikan pembelajaran.

“Mau tidak mau para guru harus banyak mencari sumber inspirasi materi pembelajaran yang menitikberatkan pada pembelajaran life skill. Membuka sekolah adalah pilihan tersulit yang harus diambil karena hanya di sekolah yang paling memungkinkan untuk dilakukannya proses belajar mengajar. Akan tetapi proses mengajar dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan,” imbuh Boby.

Meksipun banyak halangan dan rintangan yang menghadang, tidak menyurutkan semangat Boby untuk memberikan kontribusi di dunia Pendidikan. Ia menyampaikan hal yang membuatnya tetap semangat mengajar di daerah pedalaman adalah karena ia seorang putra suku Dayak. Boby ingin generasi muda suku Dayak bisa maju dan berpendidikan tinggi. Sehingga kelak mereka inilah yang akan mengelola sumber daya alam bumi Kalimantan dengan cara yang arif.

“Apalagi saya mempunyai mimpi ingin membangun sekolah yang berwawasan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development School). Saya ingin ada sekolah di pedalaman Kalimantan yang bisa dijadikan rujukan sekolah yang ramah lingkungan kelas dunia. Saya juga berharap metode saya dalam memberikan pengajaran yang berbeda ini bisa menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain yang ada di Indonesia,” pungkasnya. (Kumi/Hendri)