Pembelajaran jarak jauh merupakan solusi di tengah pandemi Covid-19. Tanpa ada kontak fisik dan kerumunan orang di sekolah, kegiatan belajar mengajar bisa tetap berlangsung. Tapi di sisi lain, belajar jarak jauh menggunakan internet, gadget dan media sosial bisa menimbulkan kebosanan.

”Rasa bosan ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak negatif, salah satunya sikap cyberbullying,” ujar Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd, Direktur Sekolah Dasar (SD) Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Sabtu, 12 September 2020.

Hal itu disampaikan Sri Wahyuningsih dalam webinar bertajuk “Cegah Cyberbullying saat Pembelajaran Jarak Jauh Daring.” Para pembicara yang tampil dalam webinar tersebut adalah Direktur Pemberdayaan Informatika Kominfo Slamet Santoso, SH., MM., M.B.A., Psikolog yang juga Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta T. Novi Poespita Candra, M.Si, Ph.D, dan PTP Ahli Muda Direktorat Sekolah Dasar Kemdikbud Nur Fitriana, M.A.

Untuk mencegah dampak negatif dari belajar daring, Sri Wahyuningsih menghimbau para guru serta orang tua untuk memahami serta memperbaiki penggunaan media sosial sehingga menghidarkan siswa dari sikap cyberbullyng. Kalau tidak di-manage dengan baik, belajar jarak jauh daring ini memang rentan memicu cyberbullying akibat dari rasa bosan yang terjadi pada siswa.

”Dalam belajar jarak jauh, tidak hanya materi pembelajaran yang diberikan oleh guru. Tetapi juga siswa wajib diberikan pemahaman tentang pembentukan karakter untuk menghindari cyberbullying,” imbuhnya.

Direktur SD Kemdikbud berharap melalui edukasi webinar mengenai cyberbullying ini, para orang tua dan guru semakin aware dan memperhtikan anak-anaknya pada saat pembelajaran jarak jauh maupun pada saat menggunakan gadget.

“Harapan saya para orang tua pun harus mendampingi saat anak-anaknya tengah melakukan pembelajaran jarak jauh. Tidak hanya itu, para orang tua harus memahami serta mendampingi anak-anaknya dalam menggunakan gadget agar terhindar dari penyalahgunaan hingga menimbulkan sikap cyberbullying,” katanya.

Semenatara itu, psikolog sekaligus dosen Universitas Gadjah Mada Novi Puspita menungkapkan ada sekitar 50% dari 41 remaja usia 13-15 tahun mengalami cyberbullying (data Unicef 2016). Selain itu 80% siswa dari 102 siswa kelas 7 di Yogyakarta menjadi cybervictim (data Safaria 2016). Public figure dan orang yang memiliki banyak followers di instagram dapat menjadi target cyberbullying.

Novita menyampaikan sebanyak 30% korban cyberbullying mengalami masalah dalam proses belajar. Selain itu sebanyak 28% orangtua menyatakan anaknya mengalami depresi, dan 25% orang tua menyamapikan akibat dari cyberbullying ini mengganggu pola tidur anak serta menyebabkan mimpi buruk (Kaspersky Lab; iconKids & Youth, 205).

“Dampak dari cyberbullyng adalah korban akan mengalami frustasi, kemarahan, kesedihan, 28% mengalami depresi, susah tidur, harga diri rendah dan keinginan bunuh diri, masalah keluarga, gangguan makan, serta 30% mengalami kesulitan belajar, perilaku menyimpang dan penyalahgunaan obat,” papar Novita.

Menurut data dari Kominfo, sampai dengan 31 Desember 2019 dan Data Patroli Siber, sepanjang tahun 2019 terdapat 1.204.595 kasus yang diterima dari konten negatif internet. Rizki Ameliah, Kepala Subdit (Koordinator) Program Literasi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika menyampaikan ada banyak cara untuk pencegahan terjadinya cyberbullying.

“Tanamkan sikap menghormati orang lain, menyaring informasi, memberi pemahaman terhadap pengguna sosial media dan gadget, tidak merespon orang-orang yang pernah melakukan cyberbullying. Selalu memposting hal-hal yang positif di sosial media, melaporkan ke pihak berwenang jika mendapatkan cyberbullying, dan memantau anak-anak pada saat menggunakan sosial media dan gadget,” uajar Rizki dalam paparannya. (Hendri)