Oleh Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd.
Webinar dengan tema ‘Inklusi Terkini, Implementasi Merdeka Belajar ABK’ yang diselenggarakan Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbud bekerja sama dengan Pendidikan.id pada Sabtu, 17 Oktober 2020 menarik perhatian masyarakat. Berbagai kalangan memberikan tanggapan beragam melalui media sosial.
Salah satu yang menjadi topik perbincangan adalah pernyataan saya bahwa Sekolah Dasar saat ini diprioritaskan untuk anak-anak disabilitas tanpa hambatan intelektual. Sedangkan anak dengan hambatan intelektual disarankan sekolah di SLB.
Pernyataan saya itu bukan bermaksud mendiskriminasikan diantara peserta didik, tetapi lebih mengacu pada tataran praksis, dimana banyak keluhan para guru SD yang belum memiliki bekal pengetahuan menangani anak tersebut.
Kita tidak ingin menegakkan HAM, sekaligus melanggar HAM. Ketidakmampuan guru menangani anak tersebut menjadi tangung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sesuai kewenangannya untuk melakukan berbagai bimbingan teknis dan diklat, sehingga para guru mampu menangani semua peserta didik tanpa kecuali.
Peserta didik berkebutuhan khusus dan orang tua diberikan kebebasan untuk memilih bersekolah di SLB atau di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif. Pemerintah berkewajiban menyediakan pilihan-pilihan itu, adapun keputusan mereka ingin bersekolah dimana menjadi hak anak dan orang tuanya.
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di satuan Pendidikan memerlukan pengkondisian, sehingga semua warga sekolah, komite sekolah dan masyarakat welcome terhadap kehadiran peserta didik berkebutuhan khusus. Diperlukan budaya yang inklusif, kebijakan sekolah yang memberikan akses kepada semua peserta didik (termasuk peserta didik berkebutuhan khusus), dan tidak kalah pentingnya adalah terciptanya akomodasi yang layak dalam praktik terhadap pelaksanaan 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP). Praktik Pendidikan inklusif tidak boleh menciptakan ilusi-ilusi dalam Pendidikan.
UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk menyediakan Unit Layanan Disabilitas (ULD). Sehingga ahli dari ULD bisa mendampingi anak disabilitas di sekolah. Tetapi belum semua daerah menyediakan ULD ini.
Sedangkan tanpa pendampingan oleh ahli, anak dengan hambatan intelektual akan kesulitan mengikuti pelajaran di Sekolah Dasar. Mereka kurang konsentrasi, dan memahami pesan yang disampaikan tidak utuh. Sehingga akan ada gap dalam pembelajaran yang justru merugikan anak.
Praktik Pendidikan inklusif di satuan Pendidikan harus kerjasama dengan banyak pihak termasuk SLB, tetapi tidak semua Kabupaten/Kota memiliki SLB atau sekalipun ada lokasinya amat jauh dari Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif. Ini tantangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mendorong Pendidikan inklusif menjadi solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah Pendidikan di Indonesia.
Pada suatu saat kita berharap semua peserta didik yang memiliki hambatan fisik, sensosrik, intelektual, social-emosi, perilaku, bahkan hambatan majemuk dapat belajar bersama di sekolah regular yang berada dengan tempat tinggalnya.
Ke depan, semua pihak harus bekerja lebih keras dan saling bekerja sama untuk mewujudkan pendidikan inklusif. Program Pendidikan Inklusif merupakan salah satu amanat dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif yang diperkuat dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Program Pendidikan Inklusif bertujuan untuk meningkatkan akses, mutu pelayanan pendidikan yang ideal bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan memberikan jaminan untuk memperoleh hak pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya.
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., Direktur Sekolah Dasar
Direktotar Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.